Penelusuran Kata

Selasa, 16 April 2013

Proses Pengundangan NKRI

Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan

Proses akhir dari pembuatan peraturan perundang-undangan adalah pengundangan dan penyebarluasan yang memerlukan penanganan secara terarah, terpadu, terencana, efektif dan efesien serta akuntabel. Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Maksudnya agar supaya setiap orang dapat mengetahui peraturan perundang-undangan, pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia. Dengan penyebarluasan diharapkan masyarakat mengerti, dan memahami maksud-maksud yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dapat melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan berwenang melakukan pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Pelaksanaan pengundangan peraturan perundang-undangan berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.01-HU.03.02 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan yang dalam tugas pokok dan fungsinya dilaksanakan oleh Direktorat Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan Peraturan Perundang-undangan yang membawahi Subdirektorat Pengundangan Peraturan Perundang-undangan.
Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia meliputi:
  1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  2. Peraturan Pemerintah;
  3. Peraturan Presiden mengenai:
    1) pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan
    2) pernyataan keadaan bahaya.
  4. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia meliputi peraturan yang dikeluarkan oleh:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2. Dewan Perwakilan Rakyat;
3. Mahkamah Agung;
4. Mahkamah Konstitusi; dan
5. Menteri, Kepala Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang.
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dan himpunan.
Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan
  1. Naskah Peraturan Perundang-undangan yang akan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia wajib disampaikan kepada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan disertai dengan 3 (tiga) naskah asli dan 1 (satu) softcopy.
  2. Penyampaian dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari instansi yang bersangkutan atau petugas yang ditunjuk disertai surat pengantar untuk diundangkan.
  3. Pengundangan dilakukan dengan memberi nomor dan tahun pada Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, dan memberi nomor pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Selanjutnya Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan mengajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk ditandatangani.
  4. Naskah peraturan perundang-undangan yang telah ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, selanjutnya disampaikan kepada instansi pemohon 2 (dua) naskah asli dan 1 (satu) untuk Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan sebagai arsip.
  5. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal peraturan perundang-undangan diundangkan.
  6. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan dilakukan pada akhir tahun.


Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan
  1. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan melalui media cetak, media elektronik, dan cara lainnya.
  2. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan melalui media cetak berupa lembaran lepas maupun himpunan.
  3. Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk disampaikan kepada kementrian/Lembaga yang memprakarsai atau menetapkan peraturan perundang-undangan tersebut, dan masyarakat yang membutuhkan.
  4. Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk disampaikan kepada Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan pihak terkait.
  5. Penyebarluasan melalui media elektronik dilakukan melalui situs web Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan dapat diakses melalui website: www.djpp.depkumham.go.id, atau lainnya.
  6. Penyebarluasan dengan cara sosialisasi dapat dilakukan dengan tatap muka atau dialog langsung, berupa ceramah workshop/seminar, pertemuan ilmiah, konfrensi pers, dan cara lainnya

Makalah Hukum Internasional

Perlindungan dan Alih Pengetahuan Tenaga Kerja Asing Di Indonesia

Sejauh ini Indonesia masih memerlukan investor asing untuk menggerakkan perekonomian dalam negeri, demikian juga dengan pengaruh globalisasi peradaban dimana Indonesia sebagai negara anggota WTO harus membuka kesempatan masuknya tenaga kerja asing. Untuk mengantisipasi hal tersebut diharapkan ada kelengkapan peraturan yang mengatur persyaratan tenaga kerja asing, serta pengamanan penggunaan tenaga kerja asing. Peraturan tersebut harus mengatur aspek-aspek dasar dan bentuk peraturan yang mengatur tidak hanya di tingkat Menteri, dengan tujuan penggunaan tenaga kerja asing secara selektif dengan tetap memprioritaskan TKI.

A. PENDAHULUAN
Proses “indonesianisasi” jabatan-jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing senantiasa dilakukan dengan mempersyaratkan adanya tenaga pendamping warga ngara Indonesia bagi tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia dan mewajibkan melakukan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja Indonesia, yang secara keseluruhan dimaksudkan dalam rangka “transfer of knowledge” dan “transfer of lerning” dari tenaga kerja asing kepada tenaga kerja Indoneisa.
Oleh karenanya dalam mempekerjakan tenaga kerja asing, dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang sangat ketat, terutama dengan cara mewajibkan bagi perusaahan atau korporasi yang mempergunakan tenaga kerja asing bekerja di Indonesia dengan membuat rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

B. PERLINDUNGAN TENAGA KERJA ASING DI INDONESIA
Terhadap setiap tenaga kerja yang bekerja di Indonesia diberlakukan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Mengingat relatif besarnya jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia, maka perlu diberikan perlindungan berupa pengikutsertaan yang bersangkutan dalam program Jamsostek. Perlindungan ini tidak hanya terhadap tenaga kerja asing yang bersangkutan melainkan juga keluarganya. Bagi tenaga kerja asing yang telah mendapatkan Jamsostek di  negara asalnya, maka terhadap pengusaha tidak diwajibkan mengikutsertakan tenaga kerja asing yang bersangkutan dalam program Jamsostek di Indonesia[1]. Sedangkan bagi tenaga kerja asing yang tidak mendapatkan Jamsostek di negara asalnya, pengusaha memberikan jaminan berupa :
  1. kecelakaan kerja
  2. sakit mengandung/hamil
  3. bersalin
  4. jaminan hari tua dan meninggal dunia
Keempat jaminan tersebut dikemas dalam 4 program yaitu[2] ;
1. Jaminan Kecelakaan
Jaminan ini diberikan yaitu pada kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja termasuk penyakit yang timbul akibat hubungan kerja serta kecelakaan yang terajadi dalam perjalanan dari rumah ke tempat kerja dan pulang kerumah melalui jalan yang biasa dilalui (tidak ada batasan waktu tertentu). Dalam jaminan ini, pengusaha (majikan) harus menyerahkan 0,24% - 1,74% dari upah sebulan ke jamsostek. Besarnya jaminan tersebut tergantung resiko kecelakaan.
2. Jaminan Kematian
Jaminan ini diberikan untuk jaminan kematian yakni sebesar 0,30% dari upah sebulan.
3. Jaminan Hari Tua
Jaminan ini ditanggung buruh dan majikan yaitu sebesar 3,7% dari upah sebulan ditanggung majikan dan 2% ditanggung oleh buruh.
4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Terkait dengan jaminan ini, Jamsostek mengadakan pembedaan tanggungan antara buruh yang masih lajang dengan yang sudah berkeluarga, dengan masing-masing besaran 6% dari upah sebulan untuk buruh yang sudah berkeluarga dan 3% untuk buruh yang masih lajang. jaminan pemeliharaan kesehatan ini juga mencakup:
  1. Aspek promotif (peningkatan kesehatan);
  2. Aspek preventif; dan
  3. Aspek kuratif (pengobatan).
C. ALIH PENGETAHUAN (TRANSFER OF KNOWLEDGE)
Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia (TKI) sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian (transfer of knowledge, transfer of learning) dari tenaga kerja asing. Disamping itu pemberi kerja tenaga kerja asing wajib untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan tersebut dikecualikan bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan direksi dan atau komisaris. Setiap pengguna tenaga kerja asing (sponsor) wajib melaksanakan program penggantian tenaga kerja asing kepada tenaga kerja Indonesia.
Oleh karenanya pengguna tenaga kerja asing wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping pada jenis pekerjaan yang dipegang atau yang ditangani oleh tenaga kerja asing. Tenaga pendamping (TKI) harus tercantum dengan jelas dalam rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) dan dalam struktur jabatan perusahaan. Lebih lanjut bahwa setiap perusahaan yang memperoleh izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IKTA), wajib menunjuk dan melatih TKI sebagai pendamping tenaga kerja asing sesuai dengan RPTKA yang dikeluarkan. Penunjukan TKI tersebut haruslah memenuhi persyaratan yang sesuai dengan jabatan yang tercantum dalam RPTKA. Permohonan IKTA untuk pekerjaan yang bersifar sementara, diajukan kepada menteri tenaga kerja atau pejabat yang ditunjuk. Apabila diperusahaan tersebut tidak memiliki TKI yang memiliki persyaratan, menteri tenaga kerja atau pejabat yg ditunjuk, dapat menempatkan TKI yang memenuhi persyaratan. Penentuan  bagi TKI calon pendamping tenaga kerja asing sebagaimana tersebut, pelaksanaannya dilakukan melalui seleksi yang diselenggarakan oleh Disnaker kabupaten/kota setempat atau bersama-sama dengan instansi teknis. Selanjutnya penempatan TKI tersebut didasarkan atas pertimbangan perusahaan.
Sebagai contoh, salah satu perusahaan di Batam yang menggunakan tenaga kerja asing melaksanakan pendidikan dan pelatihan dalam rangka pelaksanaan transfer of knowledge melalui jasa pihak ketiga (Badan Diklat). Namun setelah diadakan Diklat ini, TKI yang selalu mendampingi tenaga kerja asing ini belum bisa langsung menggantikan jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing yang bersangkutan karena berakhirnya masa kontrak. Kewajiban menyampaikan program Diklat tersebut tidak berlaku untuk permohonan IKTA bagi sekolah internasional/lembaga Diklat asing; instansi/proyek pemerintah, perwakilan dagang asing, organisasi internasional, kantor perwakilan regional perusahaan asing.
Dapat dilihat dari aspek kegunaannya, pelaksanaan transfer of knowledge ternyata memberikan keuntungan bagi perusahaan. Akan tetapi dalam prakteknya tidak semulus yang dibayangkan. Hal ini disebabkan TKI yang mendampingi tenaga kerja asing ini terkadang belum menguasai bahasa asing sehingga terjadi kesalahan penafsiran (error in interpretation) dan miscommunication. Keadaan ini tentunya harus disadari oleh pihak pengusaha dan tenaga pendamping dan dicarikan solusinya misalnya terlebih dahulu mengadakan kursus singkat untuk bahasa yang digunakan dengan tenaga kerja asing serta menyaring calon-calon tenaga pendamping yang capable, professional dan aplicable.

D. PENUTUP
Menyadari kenyataan sejauh ini Indonesia masih memerlukan investor asing, demikian juga dengan pengaruh globalisasi peradaban dimana Indonesia sebagai negara anggota WTO harus membuka kesempatan masuknya tenaga kerja asing. Untuk mengantisipasi hal tersebut diharapkan ada kelengkapan peraturan yang mengatur persyaratan tenaga kerja asing, serta pengamanan penggunaan tenaga kerja asing. Peraturan tersebut harus mengatur aspek-aspek dasar dan bentuk peraturan yang mengatur tidak hanya di tingkat Menteri, dengan tujuan penggunaan tenaga kerja asing secara selektif dengan tetap memprioritaskan TKI.
Terhadap setiap tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia diberlakukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek. Perlindungan dengan memberikan Jamsostek ini tidak hanya terhadap tenaga kerja asing yang bersangkutan melainkan juga keluarganya. Bagi tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia yang telah mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja di negara asalnya, maka pengusaha tidak wajib memberikan Jamsostek. Dalam rangka alih teknologi (transfer of knowledge), setiap penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia wajib di dampingi oleh TKI, dan sebagai bentuk implementasinya si pemberi kerja wajib mengadakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi TKI yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing.

DAFTAR PUSTAKA
Laporan Akhir Penelitian: Permasalahan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, BPHN, Tahun 2005.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP).
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigarasi Nomor 223 Tahun 2003 Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: Per.02/Men/XII/2004 tentang Pelaksanaan Program Jamsostek Bagi Tenaga Kerja Asing.
Kompas.com, Dilema Indonesia dalam ACFTA, diakses tanggal 11 Mei 2011

[1] Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.02/Men/XII/2004 tentang Pelaksanaan Program Jamsostek Bagi Tenaga Kerja Asing
[2] Ibid.

Makalah Hukum Pidana

Penegakan Hukum Kejahatan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pendahuluan

Selama hampir empat tahun terakhir ini Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau yang dikenal dengan nama UU Penghapusan KDRT (disahkan 22 September 2004). UU ini melarang tindak KDRT terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran dalam rumah tangga. Orang-orang dalam lingkup rumah tangga yang dimaksud adalah suami, istri, anak, serta orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, menetap dalam rumah tangga serta orang yang bekerja membantu dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Domestic violence atau KDRT [Kekerasan Dalam Rumah Tangga] juga dikenal sebagai tindakan pemukulan terhadap istri, penyiksaan terhadap istri, penyiksaan terhadap pasangan, kekerasan dalam perkawinan atau kekerasan dalam keluarga. Menurut Laporan Bank Dunia tahun 1994, bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terbanyak kejadiannya adalah penyiksaan terhadap istri atau tepatnya penyiksaan terhadap perempuan dalam relasi hubungan intim yang mengarah pada sistimatika kekuasaan dan kontrol, dimana penyiksa berupaya untuk menerapkannya terhadap istrinya atau pasangan intimnya melalui penyiksaan secara fisik, emosi, sosial, seksual dan ekonomi. Disebutkan pula bahwa seorang perempuan dalam situasi mengalami kekerasan dalam rumah tangganya, dapat saja disiksa oleh suaminya, mantan suami, pacarnya, mantan pacarnya, pasangan hidupnya, mantan pasangan atau seseorang dengan siapa dia mempunyai seorang anak. Dan perlu diketahui bahwa tidak semua bentuk-bentuk kekerasan dalam relasi hubungan intim berlangsung antara seorang penyiksa laki-laki terhadap seorang perempuan (korban), penyiksaan terjadi pula diantara pasangan homoseksual (lesbian dan gay), meskipun mayoritas kasus domestic violence dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.
Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan[1] (PBB, 1993) membagi ruang lingkup terjadinya Kekerasan terhadap Perempuan atas 3 lingkup, yaitu di keluarga atau domestic, di masyarakat atau public domain serta dilakukan oleh negara atau state. Pembagian ruang lingkup ini yang kemudian menguak kejahatan yang selama ini tersembunyi dan ter-'lindungi' dari intervensi luar untuk membantu korban dari berbagai bentuk kekerasan dalam keluarga yang terakhir ini dikenal dengan sebutan domestic violence atau kekerasan dalam rumah tangga.
Tercatat sejumlah negara telah lebih dahulu memberlakukan Undang-Undang mengenai domestic violence ini diantaranya Malaysia memberlakukan Akta Keganasan Rumah Tangga (1994), Selandia Baru, Australia, Jepang, Karibia, Meksiko dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Di Malaysia, tindak penderaan [penganiayaan] fisik terhadap perempuan cukup tinggi jumlahnya, penderaan tersebut dilakukan oleh suami atau teman lelaki korban. Di tahun 1989 diperkirakan sebanyak 1.800.000 (36%) perempuan Malaysia yang berumur diatas 15 tahun telah pengalami pemukulan secara fisik oleh suami atau teman lelakinya.[2]
Bagaimana tindak KDRT ini di Indonesia? Sejauhmana penegakan hukum terhadap UU Penghapusan KDRT diterapkan di negara kita? Tulisan berikut ini akan membahas topik tersebut diatas.


Fakta KDRT di Indonesia

Hingga saat ini Indonesia belum mempunyai statistik nasional untuk tindak KDRT.  Pencatatan data kasus KDRT dapat ditelusuri dari sejumlah institusi yang layanannya terkait sebagaimana diatur dalam UU Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban kekerasan Dalam Rumah Tangga. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau disebut Komnas Perempuan, mencatat bahwa di tahun 2006 sebanyak 22,512 kasus kekerasan terhadap perempuan dilayani oleh 258 lembaga di 32 propinsi di Indonesia 74% diantaranya kasus KDRT dan terbanyak dilayani di Jakarta (7.020 kasus) dan Jawa tengah (4.878 kasus)[3]. Lembaga-lembaga tersebut termasuk RPK [Ruang Pelayanan Khusus] atau Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di kepolisian, Pusat Krisis Terpadu & Pusat Pelayanan Terpadu [PKT & PPT] di Rumah Sakit atau Layanan Kesehatan, Women’s Crisis Centre (WCC) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menyediakan layanan pendampingan bagi Korban serta Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.
Data tahun 2007 Mitra Perempuan WCC mencatat 87% dari perempuan korban kekerasan yang mengakses layanannya mengalami KDRT, dimana pelaku kekerasan terbanyak adalah suami dan mantan suaminya (82,75%). Fakta tersbut juga menunjukkan 9 dari 10 perempuan korban kekerasan yang diampingi WCC mengalami gangguan kesehatan jiwa, 12 orang pernah mencoba bunuh diri; dan 13,12% dari mereka menderita gangguan kesehatan reproduksinya. Diagram-diagram berikut adalah Statistik kasus yang didampingi oleh Mitra Perempuan WCC (2004-2006).
 Diagram 1
  


Diagram 2
Bentuk-bentuk Kekerasan yang dialami 336 Perempuan Dampingan Mitra Perempuan WCC, 2006:
 


Diagram 3Perbandingan Dampak Kekerasan terhadap Kesehatan Psikis dan Reproduksi Perempuan Dampingan Mitra Perempuan WCC, 2004-2006:


Dampak tindak perkosaan dan kekerasan seksual lainnya terhadap kesehatan perempuan yang mengalami kekerasan sangat memprihatinkan karena berdampak pada kesehatan perempuan secara menyeluruh, karena kekerasan seksual selalu disertai dengan kekerasan fisik dan psikis.
Salah satu dampak yang menimbulkan masalah serius adalah dampak secara khusus pada kesehatan reproduksi perempuan, di samping gangguan atau kesakitan fisik, gangguan kesehatan mental bahkan potensial terjadi kematian atau korban bunuh diri. Gangguan kesehatan reproduksi yang dialami perempuan yang mengalami perkosaan diantaranya Infeksi Saluran Reproduksi, Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk infeksi HIV dan AIDS, kehamilan yang tidak dikehendaki, abortus spontan, pemaksaan abortus, Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), kecacatan pada bayi dan kerusakan organ genital atau reproduksi.
Memaksakan dilanjukannya kehamilan yang tidak diinginkan oleh Korban Perkosaan akan meningkatkan resiko kehamilan perempuan. Tekanan psikis dan trauma yang dialami oleh perempuan hamil tersebut akan membayangi kehidupannya.
Diagram 4Perbandingan Jumlah Kasus Percobaan Bunuh Diri Perempuan Korban Kekerasan Dampingan Mitra Perempuan WCC, 2004-2006:


 

Penegakan Hukum Kasus KDRT

Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini. Di samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili perkara KDRT ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sejak sebelum persidangan dimulai.
Penerapan Ancaman Pidana Penjara dan Denda
Dari hasil pemantauan terhadap kasus-kasus KDRT di Jakarta, Bogor Tangerang, Depok dan Bekasi, penegakan hukumnya selain menggunakan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT juga menggunakan KUHP dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tercatat sejumlah sanksi pidana penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun 6 bulan. yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri dengan menggunakan pasal-pasal UU No. 23 tahun 2004 diantaranya pasal 49 jo pasal 9 dan pasal 279 KUHP untuk tindak penelantaran dan suami menikah lagi tanpa ijin istri; pasal 44 untuk tindak kekerasan fisik; pasal 45 untuk tindak kekerasan psikis berupa pengancaman. Sedangkan putusan Pengadilan dengan sanksi pidana penjara yang lebih tinggi hingga 6 tahun diputuskan terhadap sejumlah kasus dalam relasi KDRT, yang didakwa dan dituntut dengan menggunakan pasal-pasal KUHP (pasal 351, 352, 285, 286 jo 287, 289 & 335 untuk kasus penganiayaan anak dan perkosaan anak); pasal 81 & 82 UU No. 23 tahun 2002 dan pasal 287 & 288 KUHP untuk kasus perkosaan anak. Belum ditemukan tuntutan yang menggunakan ancaman pidana penjara atau denda maksimal sebagaimana yang diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini.
Penerapan Pidana Tambahan
Hingga kini belum ada putusan Pengadilan yang menjatuhkan hukuman pidana tambahan terhadap pelaku KDRT sebagaimana yang diatur oleh UU No. 23 tahun 2004. Pasal 50 UU tersebut mengatur:
“Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.”
Putusan Pengadilan ini diharapkan menjadi suatu bentuk perlindungan hukum bagi hak-hak korban dan merespon kebutuhan untuk mencegah berlanjutnya ancaman tindak KDRT. Di samping itu juga ada kebutuhan untuk menyelenggarakan program konseling yang ditujukan untuk membimbing pelaku melakukan koreksi atas perbuatan KDRT yang pernah dilakukannya. Inisiatif untuk merancang program dan menyenggarakan konseling bagi pelaku KDRT sudah dimulai oleh Mitra Perempuan bekerjasama dengan sejumlah konselor laki-laki dari profesi terkait dan petugas BAPAS yang mempersiapkan modul untuk layanan konseling yang dibutuhkan.
Data di WCC mencatat bahwa sejumlah perempuan menempuh upaya hukum secara perdata dengan mencantumkan alasan tindak KDRT dalam gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Hal ini dipilih oleh mereka yang tidak bermaksud mempidanakan suaminya, namun memerlukan upaya hukum agar dapat memutus mata rantai kekerasan yang dilakukan oleh suaminya selama perkawinan[4].
Penerapan Perlindungan Bagi Korban oleh Pengadilan
Salah satu bentuk perlindungan hukum yang juga dirancang khusus untuk merespon kebutuhan korban kejahatan KDRT dan anggota keluarganya adalah penetapan yang berisi perintah perlindungan yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 28-38 UU No. 23 tahun 2004. Ketua Pengadilan wajib mengeluarkan surat penetapan yang beisi perintah perlindungan tersebut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat permohonan kecuali ada alasan yang patut (pasal 28). Permohonan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan.
Pasal 29 UU ini mengatur:
”Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh:
a.      korban atau keluarga korban;b.      teman korban;c.       kepolisian;d.      relawan pendamping;atau e.       pembimbing rohani.”
Bentuk perlindungan hukum ini juga belum banyak dikenal dan diterapkan oleh para penegak hukum dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Berdasarkan pemantauan LSM hingga tahun 2008 ini, baru satu Pengadilan Negeri di Jawa Tengah yang telah beberapa kali mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban, dan memprosesnya dalam tenggang waktu kurang dari 7 (tujuh) hari.


Kesimpulan dan Saran

Beberapa catatan atas penegakan hukum dan penerapan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT selama hampir 4 (empat) tahun terakhir, cukup memberikan gambaran bahwa upaya penghapusan KDRT merupakan upaya yang melibatkan banyak pihak dan membutuhkan penegakan hukum yang konsisten.
Sosialisasi mengenai Undang-Undang Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintahnya serta informasi teknis penerapannya di kalangan penegak hukum dan masyarakat luas merupakan kebutuhan mendesak yang perlu direncanakan dengan baik.
Penegakan hukum untuk menerapkan Undang-Undang Penghapusan KDRT yang sarat dengan perlindungan hak-hak korban dan keluarganya memerlukan komitmen yang kuat dengan penghargaan yang tinggi terhadap nilai keadilan, non diskriminasi dan hak asasi manusia sebagaimana telah dijamin oleh konsititusi.
Selain itu dibutuhkan pula kondisi penegakan hukum yang bebas dan bersih dari korupsi, suap dan kolusi di seluruh jajaran lembaga penegak hukum, layanan sosial dan layanan publik yang terkait.

Daftar Pustaka

Jurnal Perempuan, edisi 26, Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2002.
_______, edisi 53, Kesehatan Reproduksi: Andai Perempuan Bisa Memilih, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta: 2007.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Catatan Tahunan tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: Komnas Perempuan, 7 Maret 2007.
Mitra Perempuan, Catatan Kekerasan terhadap Perempuan & Layanan Women’s Crisis Centre: Laporan 2007, factsheet, Jakarta: Mitra Perempuan, 2007.
_______, Informasi Tahunan 2007, Statistik Kekerasan dalam Rumah Tangga, factsheet, Jakarta: Mitra Perempuan, 2007.
Rashidah Abdullah et all, Kes Memukul Wanita di Malaysia: prevalens, masalah dan sikap orang awam, Selangor Darul Ehsan Malaysia: WAO, 2000.
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
_______, Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban kekerasan Dalam Rumah Tangga
_______, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
_______, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
United Nations, Declaration on the Elimination of Violence against Women, Vienna: 1993.

End Note:
[1] The United Nations Declaration on the Elimination of Violence against Women, 1993.
[2] Rashidah Abdullah et all, Kes Memukul Wanita di Malaysia: prevalens, masalah dan sikap orang awam (Selangor Darul Ehsan Malaysia: WAO, 2000), hal. 6.
[3] Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Catatan Tahunan tentang kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta, 7 Maret 2007, hal. 5.
[4] Mitra Perempuan, Catatan Kekerasan terhadap Perempuan & Layanan Women’s Crisis Centre: Laporan 2007, hal. 2.

Antropologi Hukum

1.      Alasan mempelajari Antropologi hukum ?
Jawab :
            Karena Antropologi mempelajari perkembangan kehidupan manusia dan budayanya, maka untuk mengetahui kehidupan manusia, kita harus mempelajari ilmu prasejarah, dan untuk mengetahui bagaimana manusia berbahasa.
2.      Tujuan mempelajari Antropologi ?
Jawab :
v  Tujuan Akademis = Ingin mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat serta kebudayaannya.
v  Tujuan Praktis = Ingin mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku bangsa guna membangun.
3.      Manfaat mempelajari Antropologi ?
Jawab :
*      Banyak memberikan bahan-bahan, pandangan, teori, pendapat sehingga dapat secara metodis menghadapi segala gejala yang timbul dalam masyarakat yang terus berkembang.
*      Memberikan penngetahuan tentang perkembangannya baik sebagai ilmu dan penerapannya dalam penelitian dari segi kehidupan manusia.
*      Antropologi dapat mengarahkan pembangunan bangsa dan negara secara baik.
4.      Sumbangan Hukum bagi Antropologi dan sebaliknya ?
Jawab :
Ø  Sumbangan Hukum bagi Antropologi :
Peranan Hukum sebagai pembentuk peraturan-peraturan dalam mengkaji Antropologi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
Ø  Sumbangan Antropologi bagi Hukum :
1)      Hukum lahir dari kebudayaan.
2)      Mempelajari Antropologi berarti kita melihat sebuah realitas, kenyataan atas kehidupan hukum yang sesungguhnya berjalan di masyarakat.
3)      Diharapkan dapat memunculkan kesadaran atas kenyataan adanya keberagaman hukum karena beragamnya budaya.
5.      Cabang Antropologi ?
Jawab :
A.     Antropologi Fisik = Ilmu yang mempelajari manusia dari segi biologi, misalnya bentuk tubuh, warna rambut, warna kulit, dan dsb.
*      Paleoantropologi = Ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan materi fosil-fosil.
*      Somatologi = Ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri fisik.
B.     Antropologi Budaya ( Sosial-Budaya) = Ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, baik itu tingkah laku individu/ tingkah laku kelompok.
*      Prehistori = Ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan budaya manusia mengenal tulisan.
*      Etnolinguistik Antrologi = Ilmu yang mempelajari suku-suku bangsa yang ada di dunia/bumi.
*      Etnologi = Ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
*      Etnopsikologi = Ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegangan pada konsep psikologi.
6.      Faktor – faktor Penyebab Berubahnya Kebudayaan ?
Jawab :
1)      Faktor Internal
v  Discovery = Penemuan ide / alat baru yang sebelumnya belum pernah ada.
v  Invention = Penyempurnaan penemuan baru
v  Innovation / inovasi = Pembaharuan / penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah, melengkapi / mengganti yang telah ada.
2)      Faktor Eksteren
v  Perubahan Alam (Bencana Alam)
Kondisi ini terkadang memaksa masyarakat suatu daerah untuk mengungsi meninggalkan tanah kelahirannya. Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat tinggal yang baru, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan lingkungan yang baru tsb. Hal ini kemungkinan besar juga dapat mempengaruhi perubahan pada struktur dan pola kelembagaannya.
v  Adanya Peperangan
Baik perang saudara maupun perang antar negara dapat menyebabkan perubahan, karena pihak yang menang biasanya akan dapat memaksakan ideologi dan kebudayaan kepada pihak yang kalah.
v  Adanya pengaruh kebudayaan asing
Jika pengaruh sautu kebudayaan dapat diterima tanpa paksaan, maka disebut demonstrasi effect. Jika pengaruh suatu kebudayaan saling menolak maka disebut cultural animosity. Jika suatu kebudayaan mempunyai taraf yang lebih tinggi dari kebudayaan lain, maka akan muncul proses imitasi yang lambat laun unsur-unsur kebudayaan asli dapat bergeser/diganti oleh unsur-unsur kebudayaan baru tersebut.

Hukum Perdata




1.     Untuk siapa berlaku BW dan WVK ?
Jawab :
     Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan pengertian bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai BW tersebut ada sedikit penyimpangan, yaitu bagian 2 dan 3 Titel IV buku I (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Burgerlijke Stand” tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi) , karena hal ini tidak terkenal di dalam Burgerlijk wetboek.
2.     Pembagian Hukum Perdata ?
Jawab :
     Hukum Perdata menurut Ilmu Hukum sekarang ini, lazim dibagi dalam empat bagian, yaitu :
1)    Hukum Tentang Diri Seseorang.
Memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakkapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
2)    Hukum Keluarga
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu : perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
3)    Hukum Kekayaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan seorang, yang dimaksudkan ialah jumlah segala hak dan kewajiban orang itu, dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang demikian itu, biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak kekayaan, terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiga orang dan karenanya dinamakan hak mutlak dan hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu fihak yang tertentu saja dan larenanya dinamakan hak perseorangan. Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atau suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat, misalnnya hak seorang pengarang atas karangannya, hak seorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
4)    Hukum Waris
Mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal. Juga dapat dikatakan, Hukum Waris itu mengatur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang. Berhubungan dengan sifatnya yang setengah-setengah ini, Hukum Waris lazimnya ditempatkan tersendiri.