MEMBUAT RESUME
TENTANG MONOPOLI DALAM PERSAINGAN USAHA, MELIPUTI PERJANJIAN YANG DILARANG,
KEGIATAN YANG DILARANG,
DAN POSISI
DOMINAN
Diajukan untuk memenuhi Tugas, Mata Kuliah Pengantar
Ilmu Ekonomi
Semester Genap, Tahun Akademik 2011 / 2012
Dosen Pembimbing : Tuti Rastuti, S.H.,M.H.
Oleh : Arie Hirmawan
NPM : 111000153
Kelas B
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN
JALAN LENGKONG BESAR NO 68 BANDUNG
Telp. (022) 4205945, 4262226
2013
Kata Pengantar
Asalamualaikum Wr.wb
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT
yang tiada hentinya memberikan petunjuk, rahmat dan karunia-Nya. Tak lupa
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw, keluarga, sahabat,
dan para pengikutnya. Dengan segala rasa syukur yang tinggi penyusun berhasil
menyelesaikan tugas yang diberikan dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi Fakultas
Hukum Universitas Pasundan yaitu "Membuat Resume Tentang Monopoli
dalam Persaingan Usaha Meliputi, Perjanjian yang Dilarang, Kegiatan yang
Dilarang, dan posisi Dominan.
Adapun tujuan dari ringkasan ini adalah selain untuk
memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa disiplin yang senantiasa melaksanakan
tugas yang diberikan oleh dosen juga sebagai penambahan wawasan tentang
monopoli dalam persaingan usaha.
Penyusun menyusun ringkasan ini dengan baik, baik dari
isi maupun maupun dari kualitas. Namun penyusun menerima saran dan kritikan
konstruktif dari pembaca dengan senang hati.
Akhir kata, semoga ringkasan ini bermanfaat bagi
penyusun pada khususnya dan pembaca semua pada umumnya dan juga agar lebih
memahami tentang monopoli, maupun praktek monopoli dalam persaingan usaha
Wabillihi taufik walhidayah wassalammu'alaikum Wr.Wb
Bandung, Maret 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
A.Tindakan-Tindakan yang Dilarang Dalam Persaingan
UsahaPerjanjian yang Dilarang
1.Oligopoli
(Pasal 4)
2.Penetapan Harga (Pasal 5-8)
3. Pembagian Wilayah (Pasal 9)
4. Pemboikotan (Pasal 10)
5.Kartel (Pasal 11)
6.Trust (Pasal 12)
7.Oligopsoni (Pasal 13)
8.Integrasi Vertikal (Pasal 14)
9.Perjanjian Tertutup (Pasal 15)
10.Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16)
B.Kegiatan yang Dilarang
1. Monopoli (pasal 17)
2.Monopsoni (Pasal 18)
3.Penguasaan Pasar (Pasal 19 - Pasal 24)
4. Persekongkolan (pasal 22)
C.Posisi Dominan
1.Penyalahgunaan Posisi Dominan (Pasal 25)2.Jabatan Rangkap (Pasal 26)
3.Pemilikan Saham (Pasal 27)
4.Penggabungan, Peleburan, Penganbilalihan (Pasal 28-Pasal 29)
DAFTAR PUSTAKA
Tindakan Tindakan yang Dilarang Dalam Persaingan Usaha
(Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1999)
Tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat
Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli membuat tiga
kategori
tindakan-tindakan yang dilarang, yaitu
"perjanjian yang dilarang" (Bab III), " kegiatan yang
dilarang" (Bab IV), dan "posisi domiinan" (Bab V). Didalarn
kategori "perjanjian yang dilarang" ditentukan ada scpuluh tindakan
yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha, sedangkan untuk kategori
"kegiatan yang dilarang" dan "posisi dominan" masing-masing
ditentukan ada empat dan tiga tindakan yang tidak diperbolehkan.
Dua kategori yang pertama ("perjanjian yang
dilarang" dan "kegiatan yang dilarang") tarnpak lebih ditekankan
pada pcngaturan perilaku (behavior) yang mengarah pada akibat yang tidak
dikehendaki, sedangkan kategori "posisi dominan" lebih dititik
breratkan pada larangan penggunaan struktur tertentu (posisi dominan) untuk
bersaing secara tidak fair.
Di dalain wacana hukum persaingan usaha, aturan yang
dititikberatkan pada larangan perilaku tertentu dikatakan sebagai aturan yang
memiliki pendckatan "behavioral." Sedangkan aturan yang melarang pembentukan
atau penyalahgunaan struktur disebut sebagai aturan yang merniliki pendekatan
"struktural".
Meskipun Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli
menentukan adanya tiga kategori tindakan yang dilarang, dasar yang dipakai
untuk mcmbuat katégori tersebut tidak terlalu jelas. Ketidakjelasan itu
khususnya
tampak dari katcgori yang pertama dan kategori yang
kedua. Sebagai misal,
ticlak tcrlalu jclas mengapa pcrsekongkolan dimasukkan
dalam kategori "kegiatan yang dilarang" dan tidak di dalam kategori
"perjanjian yang dilarang".
Padahal, kalau mcngacu pada definisi istilah-istilah
yang ada pada bab I, persekongkolan merupakan suatu bentuk kerja sama yang bisa
dimasukkan dalam pengertian "perjanjian" yang didefinisikan secara
luas oleh Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli.
Sebaliknya, tidak terlalu jelas pula mengapa
pemboikotan sebagai Salah satu tindakan yang dilarang diletakkan di bawah
kategori "perjanjian yang dilarang scmentara pemboikotan (boycott)
sebenarnya bisa dilakukan olch pelaku tunggal (single actor) tanpa perjanjian
dengan pihak lain.
Terlepas dari kekurang jelasan kategorisasi di atas,
dalam bagian ini hendak diuraikan masing-masing kategori scrta
tindakan-tindakan yang
dilarang secara lebih rinci.
A.Perjanjian yang Dilarang
Ada sepuluh tindakan yang tcrgolong sebagai
"perjanjian yang dilarang". Masing-masing tindakan tersebut akan
diuraikan berikut ini.
1.Oligopoli (Pasa14)
Pengertian oligopoli tidak didapati secara tegas, baik
di dalam definisi peristilahan (Pasal 1) maupun dalam Pasal 4 Undang-Undang
Larangan Praktek Monopoli. Namun, secara implisit dapat ditafsirkan bahwa
oligopoli adalah penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat oleh beberapa pelaku usaha secara bcrsama-sama dengan pembuatan
perjanjian.
Berbeda dari monopoli yang dilakukan oleh satu orang
atau satu
kelompok pelaku usaha, oligopoli dilakukan oleh
beberapa pelaku usaha.
Ayat (2) dari Pasa14 menentukan perihal batas minimal
penguasaan pangsa pasar untuk dapat dikatakan oligopoli.
Menurut ayat terscbut, oligopoli dianggap terjadi
apabila pcnguasaan bersama atas produksi dan atau pcmasaran barang/jasa
menghasilkan penguasaan dua atau tiga pelaku usaha/kelompok pelaku usaha atas
75% pangsa pasar barang atau jasa tertentu.
Contoh:
Perusahaan x, Perusahaan y, dan Perusahaan z
masing-masing memproduksi barang A. Dikatakan terjadi oligopoli apabila ketiga perusahaan
itu menguasai produksi pemasaran barang A dan pcnguasaan itu menghasilkan
penguasaan pangsa pasar sebesar 75% oleh dua atau tiga pcrusahaan.
2.Penetapan Harga (Pasal 5 - 8)
Penetapan harga (price fixing) mcnurut ketentuan
Undang-Undang
Larangan Praktck Monopoli bisa terwujud dalam beberapa
bentuk berikut.
- Penetapan
harga yang diadakan pelaku usaha dengan pesaingnya (horizontal price
fixing) untuk menetapkan harga yang harus dibayar konsumen untuk suatu
barang pada pasar bersangkutan yang sama (Pasal 5 ayat (1)). Ketentuan ini
dapat disimpangi apabila perjanjian penetapan harga itu dibuat dalam suatu
usaha patungan atau didasarkan pada undang-undang yang berlaku ((Pasal 5
ayat (2))
- Penetapan
harga oleh pelaku usaha dengan perjanjian yang mcngakibatkan pembeli yang
satu harus membayar harga yang A berbeda dari harga yang dibayar pembeli
lain untuk barang dan jasa yang sama (Pasal 6).
Ada ketidakjelasan di dalam
ketentuan Pasal 6. Menurut pasal tersebut yang dilarang adalah diskriminasi
harga (price discrimination) yang didasarkan pada perjanjian (oleh karena itu
tindakan ini termasuk kategori "perjanjian yang dilarang") padahal
sebenarnya diskriminasi harga bisa dilakukan secara unilateral, tanpa
perjanjian apa pun. Pasal 6 yang mernberi tekanan pada perjanjian sebagai dasar
diskriminasi harga bisa rnemunculkan pertanyaan eontang boleh tidaknya
diskriminasi harga secara sepihak (unilateral) yang tidak didasarkan pada
perjanjian.
- Pcnetapan
harga di bawah harga pasar melalui perjanjian horizontal (antara pélaku
usaha dengan pesaingnya) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat (Pasal 7).
Dikaitkan dengan isi Pasal 5 ayat
(l), Pasal 7 ini sebenarnya mcrupakan pasal yang berlebihan. Pasal 5 ayat (1)
ini jelas melarang pclaku usaha untuk rnernbuat perjanjian penetapan harga
déngan pesaingnya untuk rnonentukan harga yang harus dibayar oleh konsumen.
Karena yang dilarang oleh Pasal 5 adalah perjanjian untuk menetapkan harga,
sernestinya perjanjian penetapan harga di bawah harga pasar yang dimaksudkan
oleh Pasal 7 sudah tercakup di dalam Pasal 5.
- Penetapan
harga maksimal secara vertikal atau vertical maximum price fixing (Pasal
8). Pasal 8 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian yang
mensyaratkan penerima barang/jasa tidak akan menjual kernbali barang/jasa
tersebut dengan harga lebih rendah dari harga tertentu yang diperjanjikan.
Praktek semacam ini juga disebut RPM (resale price maintenance).
Contoh:
Perusahaan x menjual barang A pada Perusahaan y
(distributor) dengan syarat Perusahaan y tidak boleh menjual barang tersebut
di bawah harga tertentu.
3.Pombagian Wilayah / Market /
Territorial Distribution (Pasal 9)
Pasal 9 melarang pelaku usaha membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya dongan maksud rnembagi wilayah atau alokasi
pasar barang/jasa sehingga rnengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Karena yang dilarang oleh Pasal 9 adalah perjanjian di
antara para pesaing (horizontal), dapat ditafsirkan bahwa perjanjian antara pelaku
usaha dengan pelaku usaha lain yang bukan pesaing, melainkan distributor /
retailer-nya (vertikal), tidak terrnasuk dalam ruang lingkup pengaturan Pasal
9. Namun, ternyata di dalam penjelasan Pasal 9 dikatakan bahwa perjanjian yang
dimaksud dalam Pasal 9 rnencakup pcrjanjian yang bersifat horizontal maupun
vertikal.
Untuk menghindari ketidakjelasan yang justru muncul
dari bagian
penjelasan Pasal 9, sebenarnya akan lebih baik apabila
dibuat definisi untuk "perrjanjian vortikal" dan "pcrjanjian
horizontal". Tanpa penjelasan dernikian, kontradiksi sangat mungkin muncul
di antara pasal yang satu dengan pasal yang lain atau di antara satu pasal
dengan penjelasannya. Pasal 9 rnelarang perjanjian antara pelaku usaha dengan
pesaingnya (horizontal), sedangkan penjelasan Pasal 9 justru rnemperluas dan
rnengaburkan isi Pasal 9 dengan rnemasukkan juga perjanjian vertikal dalam
cakupan pasal tersebut.
Contoh permasalahan yang rnungkin tirnbul adalah
sebagai berikut.
Perusahaan A rnemiliki lima distributor (B, C, D, E,
dan F). Karena masing masing merupakan distributor dari barang yang sama
(produk Perusahaan A), maka rnereka berada pada posisi pesaing satu sarna lain.
Yang dilarang oleh Pasal 9 adalah perjanjian pembagian wilayah antar pesaing,
sehingga dalarn hal ini dua distributor atau lebih (di antara B, C, D, E, dan
F) tidak dibenarkan rnembuat perjanjian wilayah.
Persoalan akan muncul dalam hal pembagian wilayah
tidakd ibuat
di antara para distributor yang saling menjadi
pesaing, melainkan antara Perusahaan A dengan setiap distributornya. Karena
Perusahaan A pada akhirnya berkopentingan agar produknya diserap pasar, bisa
saja ia rnernbuat perjanjian dcngan setiap distributor yang menentukan wilayah
pernasaran distributor tersebut. Dengan distributor B rnisalnya, Perusahaan A
menentukan bahwa wilayah pemasaran B adalah di lokasi I. Dengan C, Perusahaan A
mernbuat perjanjian untuk rnenentukan lokasi ll sebagai wilayah pemasaran. Hal
yang sama juga dilakukan A dengan D, E, dan F yang masing-masing ditentukan rnemiliki
wilayah pemasaran sendiri sendiri. Meskipun berakhir pada kondisi terbaginya
wilayah pemasaran para
distributor sebagai pesaing, dalarn kasus di atas para
distributor tidak rnengadakan perjanjian di antara mereka.
Perjanjian diadakan antara perusahaan A dengan B, C,
D, E, dan F. Karena A berada pada tahap distribusi yang berbeda dari B, C, D, E
dan F, sulit mengatakan bahwa A adalah pesaing B, C, D, E, dan F.
Menurut Pasal 9, perjanjian antara A dengan
masing-rnasing distri butornya tidak terinasuk perjanjian yang dilarang
mengingat perjanjian itu tidak terjadi antara A dengan pesaing-pesaingnya.
Narnun, apabila restriksi Pasal 9 ditinggalkan sama
sekali dan penjelasan Pasal 9 diterapkan, perjanjian vertikal antara A dongan
B, C,
D, E, dan F bisa menjadi perjanjian yang dilarang.
Di sini lantas tarnpak adanya inkonsistensi antara
Pasal 9 dengan
penjelasannya. Pasal 9 yang sudah cukup sernpit
ternyata diperluas lagi oleh penjelasannya. Sebenarnya, penjelasan harus
bersifat mempertegas atau mempersempit ketentuan pasal, bukan sebaliknya.
4.Pemboikotan (Pasal 10)
Seperti telah disinggung di muka, pemboikotan yang
secara tegas diatur oleh Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli adalah
pernboikotan yang dilakukan dengan perjanjian. Satu hal penting yang perlu
dicatat adalah bahwa sobenarnya pemboikotan bisa dilakukan secara sepihak
(unilateral), tanpa perjanjian dengan pihak lain.
Unilateral boycott tidak secara togas diatur di dalam
Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli.
Menurut Pasal 10, pemboikotan dapat terwujud dalam dua
bentuk, yaitu sebagai berikut.
- Perjanjian
horizontal (antar pesaing) untuk menghalangi pelaku usaha lain melakukan
usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalarn negéri rnaupun luar negeri
(prevention to enter a business) yang diatur dalam ayat (1).
- Perjanjian
horizontal guna menolak penjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku
usaha lain sehingga merugikan/dapat diduga merugikan pelaku usaha lain
atau membatasi pelaku usaha lain dalain menjual atau meinbeli barang/jasa
dari pasar yang bersangkutan (ayat 2).
Apa yang diatur dalain Pasal 10 ayat (2) tersebut juga
dikenal dcngan istilah "refusal to deal", yang sekali lagi tidak
harus terjdi melalui perjanjian, melainkan bisa melalui tindakan tunggal
sepihak (single unilateral action).
5.Kartel (Pasal 11)
Meskipun tidak ada definisi yang tegas tentang kartel
di dalarn Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli, dari Pasal 11 dapat
dikonstruksikan bahwa kartel adalah perjanjian horizontal untuk mempengaruhi
harga dengan mengatur produksi dan atau pernasaran suatu barang dan atau jasa,
yang dapat rnengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.
6.Trust (Pasal 12)
Pasal 12 berisi larangan bagi pelaku usaha untuk
mengadakan perjanjian yang mengarah pada pernbentukan trust. Tidak ada definisi
yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan trust, narnun dari Pasal 12 dapat
dikemukakan bahwa trust adalah pembentukan gabungan perusahaan atau perseroan
yang lebih besar dengan tetap mempertahankan identitas perusahaan anggotanya
dengan tujuan mengontrol produksi dan atau pernasaran barang/jasa.
Trust sebenarnya merupakan bentuk kerja sama yang
lebih bersifat
integratif dibanding kartel. Anggota-anggota kartel
hanya diikat oleh perjanjian / kesepakatan (atau paling banter mengambil bentuk
"asosiasi pengusaha" yang tidak berbadan hukum), sementara
anggota-anggota trust diikat oleh perusahaan gabungan yang lebih besar.
7.Oligopsoni (Pasal 13)
Selain oligopoli yang diatur di dalam Pasal 4, Undang-Undang
Larangan Praktek Monopoli juga secara khusus melekatkan larangan bagi dibuatnya
perjanjian yang mengarah pada terjadinya oligopsoni , yakni penguasaan
pembelian atau penerimaan pasokan oleh beberapa pelaku usaha sehingga mereka
bisa mengendalikan barang atau jasa dalam pasar bersangkutan.
Ayat (2) dart Pasal tersebut menjelaskan bahwa
oligopsoni patut diduga terjadi apabila dua atau tiga pelaku usaha menguasai
lebih dari 75% pangsa pasar barang/jasa tertentu.
Pasal 13 ternyata juga tidak bisa menjelaskan segala
hal. Pertanyaan bisa muncul dalarn hal 80% pangsa pasar dikuasai oleh tiga
pelaku usaha, narnun penguasaan itu tidak rnengakibatkan terjadinya praktek
rnonopoli sebagairnana disyaratkan oleh Pasal 13 ayat (1)
8.Integrasi Vertikal (Pasal 14)
Apabila rnengakibatkan persaingan usaha tidak sehat,
Pasal 14 melarang dibuatnya perjanjian integrasi vertikal. Penjelasan Pasal 14
menyebutkan bahwa integrasi vertikal adalah penguasaan serangkaian proses
produksi barang tertentu rnulai hulu sampai hilir atau proses yang berlanjut
atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha.
Apabila dicermati, ada pertentangan antara Pasal 14
dengan penjelasan ya. Penjelasan Pasal 14 mengartikan integrasi vertikal
sebagai :
penguasaan proses produksi "dari hulu sampai
hilir", sedangkangkan Pasal 14 tidak mcnsyaratkan integrasi vertikal yang
sedemikian luas rnulai dari hulu hingga hilir.
9.Perjanjian Tertutup (Pasal 15)
Ada ernpat jenis perjanjian yang dilarang oleh Pasal
15 di bawah judul "Perjanjian Tertutup". Masing-masing perjanjian
tersebut adalah sebagai berikut.
·
Perjanjian
yang mensyaratkan bahwa pihak penerima barang/jasa hanya mernasok barang/jasa
tersebut pada pihak tertentu atau pada tempat tertentu. Dengan kalimat lain, perjanjian
ini melarang atau mewajibkan seseorang penerima barang/jasa memasok kepada
pihak tertentu.
·
Perjanjian
yang mensyaratkan bahwa pihak penerima barang/jasa harus bersedia membeli
barang/jasa lain dari pernasok (tgying-in arrangement).
·
Perjanjian
tentang harga atau potongan harga barang/jasa dengan penerirna barang/jasa
harus membeli barang/jasa lain dari pemasok (conditional tying-in).
·
Perjanjian
tentang harga atau potongan harga barang/jasa dengan syarat penerirna
barang/jasa tidak akan membeli barang / jasa yang sama atau sejenis dari
pesaing pemasok (conditional exclusive dealing). Penjelasan Pasal 15 menegaskan
bahwa pengertian memasok mencakup tindakan menyediakan pasokan, jual be1i, sewa
menyewa, sewa beli, dan sewa guna usaha (leasing).
10.Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16)
Pasal 16 Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli
berbunyi,
"Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pihak lain diIuar negeri yang memuat ketentuan yang dapat rnengakibatkan
terjadinya praktek rnonopo1i dan atau persaingan usaha tidak sehat'
Pasal ini sebenarnya cukup baik, karena merupakan
antisipasi terhadap kemungkinan interaksi pelaku usaha domestik dengan pelaku
usaha asing. Hanya saja substansi pasal ini sangat sumir. Pertanyaan yang
mungkin muncul adalah bagaimana dengan perjanjian antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha asing yang rnengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan bukan
di dalam negeri, melainkan di luar negeri. Pasal 16 dan penjelasannya tidak
menegaskankan tentang di pasar mana (domestik atau asing) praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat disyaratkan terjadi.
B.Kegiatan yang Dilarang
Kategori yang kedua dari tindakan-tindakan yang
dilarang oleh Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli adalah "kegiatan
yang dilarang". Seperti telah disinggung di muka, kategorisasi
tindakan-tindakan yang dilarang menjadi tiga jenis tidak terlampau jelas.
Namun demikian, kategori pertama yang telah diuraikan
sebclumnya ("perjanjian yang dilarang") agaknya dibuat untuk mewadahi
larangan terhadap tindakan yang dilakukan dengan perjanjian dan dengan demikian
tindakan tersebut dilakukan oleh lebih dari satu aktor yang saling bekerja sama
melalui perjanjian.
Kategori kedua ini tampaknya dimaksudkan untuk
mengakomodasi larangan terhadap tindakan-tindakan yang hanya melibatkan seorang
pelaku (unilateral action), bukan dua atau lebih pelaku seperti yang ada dalam
kategori "perjanjian yang dilarang".
Di bawah subjudul "kegiatan yang di1arang",
Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli menentukan ada empat aktivitas yang
tidak
diperbolehkan. Masing-masing tindakan tersebut akan
diuraikan dibawah ini.
1.Monopoli (Pasal 17)
Pasal 17 melarang pelaku usaha melakukan monopoli yang
dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Dari isi Pasal 17 itu dapat ditafsirkan bahwa tidak
setiap monopoli
dilarang. monopoli dilarang apabila mengakibatkan
terjadinya praktek dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Kondisionalitas bahwa monopoli yang dilarang adalah
yang mang-
akibatkan terjadinya praktck monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat sebenarnya berlebihan. Dengan mengacu pada dafinisi
peristilahan yang ada pada Pasal 1, sesungguhnya cukup disyaratkan bahwa
monopoli yang dilarang adalah yang mengakibatkan praktek monopoli.
Di dalam pengertian praktek monopoli telah terkandung
pengertian mcnimbulkan persaingan usaha tidak sehat (lihat pengertian istilah
"praktek monopoli ") sehingga persaingan tidak sehat sebenarnya tidak
perlu dinyatakan tersendiri berdampingan dengan praktek monopoli sebagai syarat
monopoli yang tidak diperbolehkan.
Ayat (2) dari Pasal 17 memuat indikator yang bisa
menjadi dasar
dugaan terjadinya monopoli yang dilarang. Menurut ayat
(2) tersebut, seorang pelaku usaha patut diduga melakukan monopoli yang
dilarang apabila terjadi hal-hal berikut :
·
Barang dan
atau jasa yang di monopoli belum ada substitusinya.
·
Mengakibatkan
pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau
jasa yang sarna. Penjelasan ayat (2) Pasal ini menyebutkan bahwa pelaku usaha
lain yang dimaksud adalah pelaku usaha yang mempunyai kcmampuan usaha bersaing
yang signifikan dalam pasar bersangkutan.
·
Satu atau
sekelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.
2.Monopsoni (Pasal 18)
Definisi yang tegas tentang monopsoni tidak didapati
di mana pun dalam Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli. Meskipun demikian,
dari Pasal 18 dapat dikonstruksikan bahwa Monopsoni adalah penguasaan
penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam
pasar yang bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Seperti telah disebutkan dalam bagian awal, monopsoni
sebenarnya adalah monopoli dari sisi pembeli (monopoly of demand).
Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli juga melarang Monopsoni sepanjang
tindakan itu mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
tidak sehat. Mengingat di dalam istilah praktek monopoli telah terkandung
pengertian persaingan usaha tidak sehat, sebenarnya dua hal ini tidak perlu
disejajarkan sebagai syarat monopsoni yang tidak dipcrbolehkan.
Berbeda dari Pasa1 17 tentang rnonopoli, Pasal 18 tentang
monopsoni hanya mencantumkan satu indikator yang bisa mendasari dugaan
terjadinya monopsoni yang dilarang. Berdasarkan ayat (2) Pasal 18, pelaku usaha
patut diduga melakukan Monopsoni yang dilarang apabila satu atau satu kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu. Tidak ada kejelasan mengapa dua indikator lain di dalam monopoli
tidak diadopsi sekalian ke dalarn tindakan Monopsoni yang dilarang.
3.Penguasaan Pasar (Pasal 19 - Pasal
24)
Di bawah judul "Penguasaan Pasar"
Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli melarang pelaku usaha, baik sendiri
ataupun secara bersama-sama melakukan kegiatan-kegiatan yang diuraikan dalam
Pasal 19 - Pasal 24.
Menurut pasal-pasal tersebut, kegiatan yang dilarang
di bawah judul "penguasaan pasar" meliputi hal-hal berikut :
·
Menolak dan
atau rnenghalangi pelaku usaha tcrtentu untuk rnelakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan (Pasal 19 huruf a).
·
Menghalangi
konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing untuk rnelakukan hubungan usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya itu (Pasal 19 huruf b).
·
Membatasi
peredaran bahan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar beersangkutan
(Pasal 19 huruf c).
·
Melakukan
praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tcrtentu (Pasal 19 huruf d).
·
Melakukan
pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan
harga yang rendah untuk menyingkirkan atau rnernatikan usaha pesaing. Predatory
pricing ini diatur di dalarn Pasal 20.
·
Melakukan
kecurangan dalam meneetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi
bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 21).
4.Persekongkolan (Pasal 22)
Mengingat bahwa persekongkolan (conspiracy) selalu
dilakukan oleh lebih dari satu pelaku, sebenarnya tindakan ini bisa diatur di
dalam kategori "perjanjian yang dilarang". Persekongkolan yang
dilarang oleh Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli mencakup persekongkolan
untuk:
·
mengatur
atau menentukan pernenang tender atau tindakan bidrigging (Pasal 22),
·
mendapatkan
informasi kegiatan usaha pesaing yang dapat diklasifikasikan sebagai rahasia
perusahaan (Pasal 23),
·
menghambat
produksi dan atau pernasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan
tujuan agar barang dan atau jasa itu berkurang kualitas maupun kuantitasnya
serta terganggunya ketepatan waktu yang dipersyaratkan (Pasa124).
C.Posisi Dominan
Untuk kategori ini ada ernpat tindakan yang dilarang
Undang- Undang Larangan Praktek Monopoli. Masing-masing akan dikcmukakan
berikut ini :
1.Penyalahgunaan Posisi Dominan
(Pasal 25)
Istilah penyalahgunaan posisi dominan bukan istilah
baku yang ada di dalam Pasa125. Pasal tersebut secara formal berjudul
"Umum".
Meskipun demikian, dari isi Pasal 25 dapat diketahui
adanya larangan untuk menggunakan posisi dominan untuk maksud tertentu.
Tindakan penyalahgunaan posisi dominan yang tercantum di dalam Pasal 25 adalah
sebagai berikut :
- Menetapkan
syarat perdagangan guna mencegah dan atau mcnghalangi konsumen mcndapatkan
barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas
(Pasal 25 ayat (1) huruf a).
- Membatasi
pasar dan pcengembangan teknologi (Pasal 25 ayat (1) huruf b).
- Menghambat
pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar
bersangkutan (Pasal 25 ayat (1) huruf c).
Ayat (2) dari Pasa125 selanjutnya menentukan bahwa
pelaku usaha memiliki posisi dominan jika satu atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dua
atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai 75% atau lebih
pangsa pasar barang/jasa tertentu pun dianggap mcmiliki posisi dominan.
2.Jabatan Rangkap (Pasai 26)
Jabatan rangkap atau "interlocking
directorate" secara eksplisit diatur di dalam Pasal 26. Menurut Pasal
tersebut, seseorang yang memegang jabatan direksi atau komisaris suatu
perusahaan dilarang memegang jabatan serupa pada perusahaan lain jika
perusahaan-perusahaan tersebut :
- berada
dalam pasar bersangkutan yang sama;
- memiliki
keterkaitan erat dalam bidang dan suatu jenis usaha;
- secara
bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tcrtentu;
- yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak
sehat.
Secara logis perangkapan jabatan ini dilarang karena
posisi demikian akan membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan terkait untuk
menghindari persaingan.
3.Pemilikan Saham (Pasai 27)
Pasal 27 pada dasarnya melarang pemilikan saham yang
bisa berdampak negatif terhadap persaingan. Pasal tersebut melarang pemilikan
saham mayoritas pada perusahaan-perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan yang sama pula atau pendirian
perusahaanperusahaan yang menjalankan kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan yang sarna.
Pemilikan saham dan pendirian perusahaan-pcrusahaan
seperti terscbut di atas menjadi dilarang apabila membawa akibat:
- satu
orang atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa
pasar atau jasa tertentu,
- dua
atau tiga pclaku usaha atau kelompok-kelompok usaha menguasai lebih dari
75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tcrtcntu.
4.Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan (Pasal
28-Pasal 29)
Secara substansial ada dua hal yang diatur di dalam
Pasal 28 Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli, yaitu:
- penggabungan
dan peleburan badan usaha yang dapat meng akibatkan tcrjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (ayat (1) Pasal 28),
- pengambilalihan
saham perusahaan lain yang dapat rnengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha ticlak sehat (ayat (2) Pasal 28).
Ayat (3) Pasal 28 nenegaskan bahwa ketentuan tentang
penggabungan, peleburan, maupun pengambilalihan saham akan diatur lebih lanjut
di dalam pcraturan pemerintah.
Penjelasan Pasal 28 menerangkan tentang apa yang
dimaksud badan
usaha. Menurut penjelasan pasal tersebut, pcngertian
badan usaha di dalam Pasal 28 meliputi baik bentuk usaha yang berbadan hukum
maupun yang tidak bcrbadan hukurn.
Berbeda dari Pasa128 yang lebih substantif, Pasa129
mengatur aspek prosedural. Pasal ini meletakan kewajiban pada pelaku usaha
untuk melakukan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan scperti yang
dimaksud dalam Pasal 28 untuk selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari
memberitahukan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan itu jika tindakan
tersebut menyebabkan nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah
tertentu. Ketentuan tentang jumlah tertentu dan tata cara pemberitahuan akan
diatur tersendiri di dalam peraturan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Siswanto,
Arie, (2002) Hukum Persaingan Usaha, Bogor : Ghalia Indonesia